Di
Thaif yang pahit, Rasulullah merasakan betul sakitnya tersendirikan. Alangkah
sepinya. Saat-saat mencekam itu. Terasing. diusir dengan kasar. Hanya ditemani
pembantu setia, Zaid bin Haritsah. Dunia seperti tak menyisakan orang-orang
ramah. Seluruh penduduk dusun itu megaraknya. Perempuan, anak-anak, dan para
budah bersorak riuh. Mereka melempari batu, Kakinya berdarah, Meleleh
melurumuri terompahnya.
Tiga
tokoh yang ditemuinya hanya saling mencibir. Jangankan mau beriman, Menolak
sapaan dengan sopan saja tidak. "Apakah Allah tidak mendapatkan orang
selain dirimu," ejek salah seorang dari mereka pada akhirnya.
Segera
Rasulullah beranjak. Di tengah perjalanan pulang ia menepi. Ia mengadukan semua
duka itu pada Allah. Dalam untaian do'a yang sangat terkenal.
Tak
berlebihan, bila Rasulullah, kelak berkisah pada istri tercintanya, Aisyah,
bahwa dibanding kesedihan di Uhud yang berdarah-darah, kesendirian di Thaif
jauh lebih mengiris. Berusaha menjadi baik, berproses menjadi baik, dalam
konteks pribadi, di jalan Islam yang diridhai Allah, memang sebuah pilihan
hidup yang menyendirikan. Begitu pula mengajak orang lain meniti jalan yang
baik, mengusung ajaran Islam, di atas perjuangan da'wah pada lingkup apa pun.
Itu adalah kesepian yang berlipat dan kesendirian di atas kesendirian. Paling
tidak pada mulanya. Lalu untuk waktu yang sangat lama. Tetapi lihatlah dua
puluh satu tahun kemudian. Itu waktu yang tidak singkat, memang. Tapi kesabaran
di jalan sepi itu toh pada akhirnya berbuah kebersamaan. Rasulullah sangat bersyukur,
memuji Allah. Dengan ketundukan yang sangat utuh. Di atas ontanya ia merunduk
khusyu'. Saat Mekkah berhasil ditaklukkan. Dahulu Rasul terpaksa meninggalkan
tanah suci itu dengan kesedihan yang menyayat. Tapi gelora rindunya tetap
abadi. Sepuluh ribu pasukan penakluk Mekkah adalah jumlah yang sangat
fantastis, laksana gelombang, ia terlalu perkasa untuk mengubur kemenangan
kesendirian di Thaif, hanya bersama Zaid, berdua saja.
Akhirnya
Rasulullah tidak lagi sendiri. Dan agama ini, perjuangannya, da'wahnya,
seruannya, ajakannya, proses orang-orangnya dalam menghayati dan
mengamalkannya, menemukan kebersamaan, dukungan, dan gairah fitrah yang
bergelora.
Tak
lama setelah Mekkah ditaklukkan pada tahun 8 Hijrah, orang-orang
berbondong-bondong datang menemui Rasulullah. Masyarakat dengan antusias
menyatakan dirinya masuk Islam. Kesepian itu hanya ceirta masa lalu. Untuk
dikenang kesedihannya sebagai keniscayaan perjuangan, juga untuk diingat
sebagai bekal syukur, betapa pada akhirnya ada hari-hari bersuka cita setelah
Mekkah ditaklukkan.
Sejak
hari itu tak ada lagi kesendirian. Hari itu tak ada lagi kesepian. Bahkan
definisi hijrah fisik dari Mekkah ke Madinah sudah ditutup. Meski perjuangan
dan titian Islam belum sampai di ujung stasiunnya. Ya, karena memang
memperbaiki diri, mendekat lebih dekat kepada nilai-nilai Islam, tidak mengenal
kata selesai. Tapi setidaknya siklus itu telah berputar ke sisi sebelah
jauhnya. Dari kesendirian menuju kebersamaan yang ramai.
Utusan
demi utusan datang dari berbagai penjuru. Ada yang datang dengan berombongan.
ada yang beberapa orang saja. Seperti utusan dari Udzrah pada bulan Shafar
tahun 9 Hijriyah. Jumlah mereka dua belas orang. Mereka adalah Bani Adzrah,
saudara Qushai dari pihak ibu. Rasulullah menerima kedatangan mereka dengan
ramah. Menyampaikan kabar gembira tentang penaklukan Syam.
Rasulullah
melarang mereka mendatangi dukun dan menyembelih korban seperti yang biasa
mereka lakukan sebelumnya. Para utusan ini masuk Islam dan menetap di Madinah
hingga beberapa hari. Setelah itu mereka kembali lagi ke kaumnya. Agama Islam
benar-benar telah meliputi jazirah Arab. Manusia berduyun-duyun memeluk Islam.
Agama baru yang menjanjikan akhirat. Yang mengentaskan manusia dari
ketertindasan menuju kemerdekaan hakiki.
Seperti itulah sejatinya, maket perjuangan Islam. Seperti itulah semestinya
jalan yang dipilih setiap muslim. Di ruang lingkup apa pun, bila kita telah
menetapkan diri untuk menjadi muslim, kita harus selalu menambah pengetahuan
kita tentang Islam, meningkatkan isi kantong keimanan kita. Itu semua adalah
proses panjang meniti kesendirian.
Di
Mekkah kesendirian itu memang pernah melewati masa panjangnya. Lalu memasuki
siklus baru: masa keramaian dan orang berbondong-bondong masuk islam. Tapi
siklus itu akan kembali lagi. Seperti yang telah diingatkan Rasulullah, bahwa
agama ini datang dalam keterasingan, ia juga akan kembali terasing sebagaimana
permulaannya. Tetapi kita juga harus percaya, bahwa siklus kesendirian juga
akan disusul dengan siklus kebersamaan. Bahwa ada saat kita sendirian. Tapi ada
juga saat dimana kita tidak sendirian.
Perjalanan
dari Thaif hingga penaklukan Mekkah, adalah pelajaran berharga bagi setiap
muslim. Tentang bagaimana memilih jalan hidup lalu mengerti resiko jalan itu.
Seorang muslim semestinya selalu berjuang bagi dirinya, bagi keluarganya, bagi
masyarakatnya, bagi bangsanya. Berjuang mengamalkan nilai-nilai Islam,
menegakkan ajaran-ajaran Islam. Di tempat kerja, di rumah, di tempat belajar,
di lingkaran kekuasaan, bahkan dalam kehidupan diri sendiri yang sangat privat
sekalipun, proses menjadi muslim yang baik harus terus dilakukan.
Hanya
dengan itulah sesungguhnya kita akan menemukan keramaian dan keramahan hidup
yang sesungguhnya. Meski pada mulanya terasa sepi. Sebaliknya, orang-orang di
keramaian kotor dan kerumunan orang-orang yang culas, seungguhnya mereka
kesepian, meski secara lahir diselimuti dengan hiruk pikuk.
Menjadi
muslim yang baik, pada mulanya adalah sepi. Berda'wah di tengah tekanan dan
ancaman, pada mulanya adalah sepi. Menapaki jalan kebaikan, sejengkal demi
sejengkal, pada mulanya adalah sepi. Menghapus satu demi satu kesalahan dengan
taubat dan kecintaan pada kebajikan, pada mulanya adalah sepi.
Menyuarakan
hak-hak rakyat di tengah karnaval penguasa-penguasa busuk, pada mulanya adalah
sepi.
Berpartai
dengan cara yang Islami, pada mulanya adalah sepi. Tidak terbawa oleh arus
budaya yang melenakan, pada mulanya adalah sepi. Begitulah, Tapi pada akhirnya
akan ada hari ketika Allah memberikan kemenangan. Pada hari itu orang-orang
beriman bersuka cita dengan pertolongan Allah. Saat manusia berbondong memilih
jalan yang baik.
Dari
Thaif hingga penaklukan Mekkah. Adalah bentangan kisah tentang kesendirian di
atas kebenaran, kesepian di jalan kebaikan, yang berakhir dengan kebahagiaan
dalam kebersamaan. Cermin itu tak pernah kusam, bagi siapa saja yang ingin
mengerti arti hidup, sebagai apapun, dalam konteks apapun.
Ahmad
Zairofi AM
Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua, anda pun bisa mendownloadnya
dalam bentuk PDF .
Jika linknya sudah mati atau tidak bisa mendownload silahkan hubungi Pengelola
Sampai jumpa di artikel berikutnya......
Sumber : cahayatarbiyah.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar